Sebuah
catatan kecil dari novel [un]affair
karya Yudhi Herwibowo
Ihwal terbitnya novel ini
saya ketahui dari kolom berita sebuah surat kabar lokal, yang memuat profil
penulisnya. Dalam kesempatan tersebut, sang penulis (siapa lagi kalau bukan Yudhi Herwibowo)
mengatakan akan segera meluncurkan novel berikutnya yang bergenre cinta. Diakuinya
novel tersebut merupakan novel pertamanya yang bergenre cinta, ehm. Langsung terbayang di benak saya
deretan karya penulis yang sungguh baik hatinya itu, mulai dari cerita humor,
roman sejarah, sampai kisah-kisah inspiratif.
Dan pada sebuah akhir
pekan, saya mencari buku tersebut di Gramedia. Karena malas mencari secara
langsung karena banyaknya display di berbagai rak dan meja, dan sedang
terburu-buru, saya langsung menuju ke komputer yang ada di tengah ruangan untuk
melacak keberadaan buku tersebut. Perlu beberapa kali ketik juga ketika
pencarian. Karena
bila hanya diketik unaffair demikian,
maka tidak bisa muncul judul bukunya.
Akhirnya
ketemu juga novel tersebut. Ilustrasi
covernya sederhana dan bersahaja (itu menurut saya). Sebuah sudut ruangan
berlantai papan, dibatasi tembok dengan cat yang mengelupas di beberapa bagian,
terkesan dingin, sunyi, dan lapuk. (Nantinya barulah saya memahaminya; Rasanya
cukuplah desain cover novel tersebut semuram suasana hati saya selepas menyelesaikan
kisah sendunya.)
Namun pada saat yang bersamaan tersaji antitesis berupa sofa modern minimalis
yang bagus dan bersih, dan... sepasang stiletto
merah mengilat.... Sungguh memunculkan banyak dugaan.
Daftar isi yang tersaji,
hm, juga tampil beda. Yang biasanya identik dengan kalimat pendek, di novel
tersebut daftar isi berupa kalimat-kalimat majemuk yang dinukil dari tiap
bagian. Soal jalan ceritanya, saya hanya akan menuliskan
sedikit saja, mengingat sudah banyak review sebelumnya atas buku ini.
Terkisah lelaki sederhana
bernama Bajja (yang langsung mengingatkan
saya pada Wajja, salah satu tokoh di
novel Menuju Rumah Cinta-Mu) seorang desainer grafis yang terjebak dengan
perasaannya sendiri untuk menjalin kisah dengan gadis bernama Arra. Bermula dari perjumpaan
tidak sengaja di
dekat palang kereta, berlanjut saat Arra memesan cetak digital buku di kantornya, lalu
di kafe V dan pertemuan-pertemuan sendu di rumah kontrakannya, kisah Bajja dan
Arra terangkai dengan tidak sederhana. Antara kesedihan, kegamangan dan
kerinduan, namun terbungkus dengan romansa, perhatian yang manis, desir yang
menyeruak, dan rinai hujan yang kerap menjadi sutradara atas kebersamaan
mereka.
Bajja, lelaki yang
membiarkan dirinya untuk menuruti apa yang terjadi. Membiarkan pintu ruang
hatinya terbuka dan membiarkan banyak hal begitu saja memporak-porandakan
isinya.
Termasuk pada saat Canta, kisah cintanya yang lama, masuk
kembali begitu saja ke ruang hatinya. Sesungguhnya Bajja tak pernah benar-benar
sanggup menutup pintu hatinya. Hingga Arra dan Canta berada pada sudut yang tak
pernah diduganya.
Novel yang teramat sendu,
teramat menyedihkan. Kepiawaian penulis menyajikan plot dan setting sudah tidak
diragukan lagi
karena begitu banyaknya karya yang telah ditulis. Membaca halaman demi halaman,
saya seakan berada di tempat-tempat dimana mereka berada. Di dekat palang
kereta, di kesibukan kantor Vanila Ice Design, menonton Everton di V,
kedinginan berhujan-hujan, juga di rumah kontrakan berarsitektur lawas yang
berdinding tinggi dan nyaman. Namun di akhir cerita, saya masih juga bertanya-tanya,
luka apa sebenarnya leher Arra ketika itu, dan, lelaki bertato kuda berlari di
lengan kanan; siapa dia dan bagaimana?
Dengan kepiawaian sang
penulis, apalagi yang bisa ditawar dari novel ini? Rasanya tidak ada. Kalaupun
ada, barangkali hanya hal yang tidak terlalu penting dan subyektif dari sudut
pandang saya (haha, tentu saja). Subyektivitas saya antara lain: Ketika membaca
novel ini, dalam beberapa bagian saya sedikit terganggu dengan gurauan yang
coba dihadirkan oleh penulis. Terutama pada dialog antara Bajja dan Wara, teman sekantornya. Rasanya malah
kurang pas untuk dibaca, misalnya pada dialog “cinta akan membawamu kembali” yang kemudian ditambahkan
kalimat “hutang akan membawamu kembali”,
atau pada bagian “Tuyul dan Mbak Yul”
Entah kenapa dialog antara Bajja dan Wara tersebut terasa mengganggu dalam beberapa bagian. Novel ini
mungkin disajikan secara simpel dan santai, namun bila gurauan-gurauan tersebut
dihilangkan, rasanya tetap akan bisa tercipta suasana cair dan akrab antara
Bajja dan Wara.
Kemudian, karakter tokoh
yang ada seharusnya bisa lebih diperkuat lagi. Nama Bajja, Wara, Canta,
Arra, rasanya sebanding dengan nama Pak Hangga, Mbak Fati, lalu Vae. Penguatan karakter mungkin dapat dilakukan dengan pemberian
makna dan pemberian nama panjang untuk tokoh utama. Sementara nama-nama tokoh
dalam novel terkesan asing dan kurang dimaknai –kecuali Bajja yang dijelaskan
karena keinginan dan harapan orang tua Bajja-. Bagi saya, karakter tokoh sangat
bertalian dengan nama yang disandang.
Hal lain yang sangat sepele
dan tidak mengurangi keindahan cerita adalah penulisan beberapa kata ulang.
Misalnya penulisan kata “....menemukan e-book-e
book menarik....” (hal.16) mungkin
bisa disederhanakan dengan “....menemukan berbagai e-book menarik...”, lalu pada dialog halaman
61, “ ...apakah aku masih menyimpan
mie-mie itu?”, mungkin lebih enak dibaca “...apakah aku masih menyimpan mie?”. Juga pada penggunaan kata
pada hal. 162 mengenakan jubah dokternya
mungkin lebih pas mengenakan jas
praktiknya. Dan beberapa penulisan kata yang sungguh teramat sepele dan
tidak mengganggu jalannya cerita.
Apapun, novel ini berhasil
mengaduk emosi pembacanya, dan memaksa menuntaskan membaca hingga akhir cerita.
Entah dengan meneteskan air mata, ataupun menarik nafas dalam-dalam untuk
menenangkan hati atas sendunya cerita... Bravo...!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar