Hampir semua buku yang pernah digarap oleh penerbit yang diirintis Yudhi Herwibowo ini berasal dari tulisan orang-orang Solo, seperti Anton WP, Andri Saptono dan lainnya. Yudhi pun berani mengambil tulisan-tulisan dari orang-orang yang selama ini belum punya nama besar sebagai penulis. “Yang penting saya pegang orang-orang kompeten di bidangnya. Misalnya saya tahu Eka (salah satu penulis) itu kompeten dalam pengetahuan umum, saya pegang dia,” katanya saat ditemui Espos, Sabtu (19/5) lalu.
Kini, 50-an buku yang dilahirkan dari Buku Katta. Buku-buku itu memang tidak hanya berasal dari satu genre saja, mulai dari sastra, biografi, pengetahuan umum, dongeng hingga tema-tema ringan seperti status gokil di jejaring sosial.
Awalnya Yudhi memang hanya menerbitkan buku-buku bergenre sastra seperti idealismenya. Karena buku sastra lebih sulit dijual, dia pun ikut merambah tema biografi. Setelah itu dia pun membuka diri dengan tema-tema yang diperkirakan bisa diterima pasar. Seperti penerbit lain, Yudhi pun menerima naskah-naskah dari banyak penulis. “Dulu saya banyak menerima penulis yang masuk, sayangnya banyak yang enggak sesuai dengan keinginan saya.”
Dari situlah Yudhi menempuh cara baru dalam mencari tulisan yang dia inginkan. Di Solo, dia mengenal banyak orang yang kemudian dibidik untuk menjadi penulis buku. Tidak mesti harus penulis profesional, tapi punya potensi dan kemampuan untuk menulis di bidang tertentu.
Aktivitasnya dalam komunitas sastra seperti Pawon Sastra membuatnya leluasa untuk menemukan nama-nama baru sebagai penulis. Yudhi menawari mereka untuk menulis buku dengan tema tertentu. “Saya tawari mereka untuk menulis buku. Jadi sekarang saya jemput bola untuk mendapatkan tulisan yang berkualitas.”
Meskipun usaha penerbitannya masih berstatus sebagai home publishing, Yudhi tidak berniat untuk selalu menuruti tren keinginan pasar. Belajar dari berbagai contoh jatuh bangunnya buku-buku yang dengan cepat mengalami boom namun akhirnya gampang ditinggalkan orang, kini dia lebih menyukai naskah-naskah yang lebih punya nilai. Misalnya dia lebih suka menerbitkan biografi, pengetahuan umum atau mitologi yang tidak gampang hilang di kalangan pembaca. “Buku-buku seperti ini lifecycle-nya lebih panjang. Beda dengan buku-buku yang cepat boom, begitu turun ya sudah, habis,” ujarnya.
Meskipun demikian, Yudhi sendiri justru sangat jarang menerbitkan karyanya sendiri di Buku Katta. “Buku saya sendiri baru satu yang diterbitkan sendiri, ini mau dua. Biasanya memang lebih banyak di Bentang, Tiga Serangkai, Diva dan Balai Pustaka,” katanya. “Ada kepuasan tersendiri kalau tulisan saya diterbitkan oleh penerbit besar.”
Awalnya kemunculan Buku Katta sebagai penerbit bukan hanya membuka ruang bagi para penulis lokal untuk menerbitkan buku, melainkan juga untuk menghidupi para karyawan percetakan milik Yudhi. Dulu sebelum mendirikan penerbitkan, Yudhi mendirikan sebuah percetakan kecil. Karena tak setiap hari ada order datang, mesin pun tak setiap saat beroperasi. Dia pun harus mencari job lain untuk bisa menghidupi karyawannya.
Dari situlah penerbitan itu dimulai. Menggunakan satu mesin cetak, Yudhi nyaris merintis penerbitan itu seorang diri. Dari mencari naskah, me-layout, hingga distribusi, semuanya dilakukan sendiri. Padahal saat itu penerbitannya bisa meluncurkan dua sampai tiga judul buku setiap bulan. “Waktu itu cetaknya masih sedikit, yaitu 1.000 eksemplar tiap judul.”
Kini dengan masuk ke distributor besar, penerbit ini dituntut untuk mencetak minimal 3.000 eksemplar setiap judul buku. Yudhi pun harus mengeluarkan modal lebih besar karena kini dia menggunakan jasa cetak di Jakarta. Karena itu pula dia mesti menerbitkan judul berkualitas agar bukunya tidak jatuh di pasar.
foto: truly rudiono
sumber: http://www.solopos.com/2012/lifestyle/fokus-lifestyle/mengangkat-penulis-solo-dari-penerbit-rumahan-187555
Tidak ada komentar:
Posting Komentar