Sebagaimana yang didedarkan dalam bagian pengantarnya yang begitu indah, Mata Air Air Mata Kumari adalah sebuah perziarahan imajinasi-lokalitas dalam ranah fiksi. Sebuah karya yang sekali lagi menunjukkan produktivitas sang penulis dalam menghasilkan bacaan-bacaan bermutu dengan beragam genre, namun dengan tetap memperlihatkan kualitasnya yang piawai. Buku Mata Air Air Mata Kumari adalah kumpulan cerpen karya Yudhi Herwibowo yang pernah dimuat di berbagai media massa, kecuali cerpen Anak Nenang Kawi yang belum terpublikasikan. Sebagaimana karya-karyanya yang banyak mengupas dari sisi sosial budaya, Mata Air Air Mata Kumari adalah himpunan dari aneka kekayaan budaya lokal, terutama Nusa Tenggara Timur dan Papua, dua kawasan di Indonesia Timur yang jarang dilirik sebagai sumber ilham oleh para penulis fiksi.
Kualitas penulis dalam menyelami kebudayaan di Indonesia
bagian timur, riset budaya yang ia lakukan, serta kentalnya unsur-unsur
lokalitas yang ia usung, kesemuanya itu menjadikan buku kecil ini
terasa berat karena bobot muatannya. Tenggoklah cerpen Kofa yang dengan begitu indah hendak menyorot kekeringan yang menimpa kota di NTT itu.
Dulu,
dulu sekali, mungkin hampir semua penduduk Kofa bertanya ada apa dengan
Tuhan hari itu? Mengapa saat Ia menciptakan hujan, malah tetesan debu
yang jatuh? (hlm 15)
Begitulah penulis dengan piawai menggunakan gejala alam sebagai perlambang pergolakan sosial yang terjadi di sebuh kota kecil di NTT. Ada pula kisah tentang Lama Fa (juru
tikam ikan paus). Melalui cerpen yang dikisahkan dengan alur terbalik
ini, penulis mengajak pembaca awam tentang kehebatan lama fa yang begitu terkenal di NTT tapi jarang dilirik di wilayah-wilayah Indonesia
yang lain. Membacanya, kita serasa diajak mengarungi lautan bersama
para penangkap ikan paus tradisional (yang mengingatkan saya pada novel Moby Dick karya
Herman Melville). Lebih menakjubkan lagi ketika kisah ini beralur
balik, dari ujung kisah ke permulaan, yang awalnya membuat pembaca
bingung tetapi semakin ke belakang malah menawarkan sudut cerita yang
bagus, yakni pembacaan berulang—membacanya lagi dari belakang hehehe …
teknik yang unik.
Sang pewarna kover, cerpen Mata Air Air Mata Kumari adalah satu-satunya unsur luar negeri dalam buku ini. Bersetting di sebuah wilayah terpencil di negara Nepal,
cerita singkat namun mengguras pilu ini seolah hendak mendobrak
kecenderungan masyarakat luas yang sangat gemar melabeli orang. Kisah
pilu si gadis Kumari, yang berubah dari titisan dewi yang dipuja menjadi
pelacur yang terbuang, seolah menyentil rasa kemanusiaan kita yang
sering memandang orang lain dari luarnya saja. Ketika rahimnya yang suci
bersentuhan dengan pria yang ia cintai sehingga menghasilkan benih
calon penghuni kolong langit, masyarakat yang dulu memujanya tiba-tiba
membuang sang mantan dewi ke pucuk bukit. Begitu rupa tangisan sang dewi
hingga menciptakan mata air yang airnya menghidupi warga yang dulu
membuangnya. Seperti tak tahu terima kasih, warga yang geram karena
minum dari air mata seorang pelacurpun membunuhsi gadis Kumari dengan
keji, yang menciptakan banjir dan genangan air mata yang menutupi desa.
Simak juga cerpen Keris Kiai Setan Kober, sebilah
keris yang meminta banyak tumbal. Keris yang konon dibuat oleh Empu
Bayu Aji pada era Padjajaran ini sangat terkenal dalam sejarah karena
banyaknya korban. Keris inilah yang kemudian menjadi senjata Arya
Penangsang. Lihatlah, dalam cerpen ini, seorang Yudhi mampu menarasikan
keganasan dari senjata ini. Lalu, masih ada Dua Mata perak, Anak Nenang Kawi, dan Eksekusi yang
membuat pembaca berpikir sejenak berupaya mencari tahu maksud
pengarang, sebelum berteriak “Aha, ternyata begitu!” Luar biasa,
beraneka warna berpadu dengan cantik dalam buku kecil ini: ada sindiran
sosial, lokalitas budaya yang kental, petualangan di pedalaman, hingga
sedikit sentilan politik. Satu hal yang jelas, sang penulis mampu
mengisahkan semuanya dalam bahasa yang halus, diksi yang sangat kental
dengan budaya lokal, serta alur yang mengikat imaji pembaca. Ah, apalah
saya ini sehingga berhak menilai karya yang mengagumkan ini dari sudut
pandang saya yang masih teramat dangkal ini? Biar pembaca sendiri yang
membaca dan memutuskan, bahwa Mata Air Air Mata Kumari memang unik, dan indah, dan sangat “cerpen” kalau bahasa surat kabar.
Sebagai penutup, saya kutipkan tulisan yang menghiasi sampul belakang
buku ini, yang menurut saya tidak mungkin lebih pas lagi: Buku ini tidak
sekadar suguhan kata di atas lembaran kertas. Buku ini menantang
peziarahan imajinasi-lokalitas dan penelisikan diri manusia melalui
pelbagai peristiwa. Kefasihan menuliskan kepekaan tempat (geografi) juga
nengesankan kerja kepengarangan yang (tetap) sadar dalam lintas batas
imajinasi kultural-lokalitas.
http://dionyulianto.blogspot.com/2012/01/mata-air-air-mata-kumari.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar