Penulis : Andri Saptono
Kategori : Fiksi
ISBN : 978-979-1032-23-0
Ukuran : 13.5 X 20.5 Cm
Halaman : 248 halaman
Cover : Soft Cover
Penerbit : Penerbit BukuKatta
Terbit : 2010
Harga : Rp.33.300
Harakiri adalah perbuatan bunuh diri yang dilakukan samurai Jepang sebagai bentuk pertanggungjawaban terhadap apa yang telah dilakukannya. Bagi orang awam, tentu tindakan ini dianggap sebagai tindakan gila, tidak rasional bahkan tabu, tetapi bagi kalangan samurai, melakukan harakiri adalah tindakan terhormat . Buku ini dapat menjelaskan alasan mengapa para samurai melakukannya.
Buku bersampul gambar seorang samurai berpakaian perang dengan posisi setengah duduk membungkuk dengan tangan kanan menopang samurai yang menancap ketanah, bagi saya sudah cukup menggambarkan situasi keritis, dilematis dan putus asa yang dialami oleh sang samurai, sebelum ia melaksanakan upacara seppuku.
Buku karya Andri Saptono setebal 248 halaman ini terbagi atas 3 bagian. Setiap bagian merupakan cerita lepas yang tidak ada kaitannya antara satu kisah dengan kisah lainnya. Benang merah dari ketiga kisah yang ditampilkan adalah harakiri.
Bagian pertama diberi judul 47 Ronin yang berkisah tentang balas dendam Oishi, sang pemimpin para ronin atas kematian tuannya Lord Asano yang dipaksa melakukan seppuku dihadapan Lord Tamura dan pasukannya sebagai hukuman atas perbuatannya menyerang kediaman Kira, sang pejabat shogun yang tamak sehingga terjadi pertumpahan darah.
Perjuangan Oishi untuk membalas dendam atas kematian tuannya mendapat dukungan dari para ronin lainnya. Oishi terus mengatur siasat yang jitu agar dapat mewujudkan keinginannya untuk mempersembahkan kepala Kira diatas makam Lord Asano. Perbuatan ini merupakan bukti pengabdian dan kesetiaannya kepada sang majikan, walau nyawanya sendiri sebagai taruhannya.
Membaca novel ini membuat kita ikut hanyut dengan suasana duka dan dendam yang membara yang sedang ditanggung Oishi dan kelompoknya. Strategi penyerangan terhadap kastil Kira yang dirancang oleh Oishi digambarkan secara detail, cermat dan penuh perhitungan. Berbagai kemungkinan ia persiapkan secara apik, mengingat semua gerak-geriknya selalu dipantau oleh mata-mata Kira yang ada dimana-mana.
Mampukan Oishi lolos dari mata-mata Kira yang selalu membuntutinya ? Apakah Oishi bisa keluar dari jebakan Kira ? Ataukah justru nasibnya akan sama seperti tuannya yang berakhir dengan upacara seppuku ?
Bagian kedua mengisahkan tentang Oda Nobunaga, seorang penguasa yang kejam. Sifatnya sulit ditebak sehingga membuat semua panglima yang ada dibawah komandonya menjadi sangat berhati-hati setiap kali berhadapan dengannya. Keputusannya bisa saja berubah dalam hitungan menit. Perangainya yang emosional bisa meledak-ledak setiap saat, bagai bom waktu yang siap meledak. Tak ada seorangpun yang dapat menduga-duga apa sebenarnya yang ada dibenaknya.
Kekejaman Nobunaga bukan sekedar dongeng. Hal itu sudah dibuktikannya ketika ia membumihanguskan sebuah kuil di Gunung Hei karena dianggap membangkang dan tidak mau tunduk pada kekuasaannya. Akibatnya sungguh fatal, sepuluh ribu orang yang ada di kuil tersebut tewas dibantai pasukannya, mulai dari biksu, orangtua, wanita dan anak-anak semuanya harus meregang nyawa. Hal ini membuat siapapun yang mendengar namanya pasti akan menggigil ketakutan dan menjadi ciut nyalinya
Nobunaga benar-benar ambisius dan haus kekuasaan. Ia selalu mengambil inisiatif untuk menyerang daerah lain yang belum bertekuk lutut padanya. Semua keinginannya dapat berjalan mulus berkat bantuan Hide Yoshi, tangan kanannya yang cerdas dan ahli strategi. Semua pemberontakan dalam negeri berhasil dipadamkan. Semua pertempuran selalu dimenangkan, bahkan terkadang tanpa harus mengeluarkan setetes darahpun. Hal ini tentu saja akibat kejeniusan Hide Yoshi yang pandai mengatur siasat dan berdiplomasi.
Perlakuan Nobunaga terhadap bawahannya, Akechi Mitsuhide alias “Kepala Jeruk”, yang kerap kali meneriman penghinaan akibat kesalahan kecil yang dilakukannya, padahal ia begitu setia padanya. Jasa Mitsuhide seakan-akan lenyap akibat ulah Nobunaga yang sewenang-wenang dan zalim tersebut. Hal ini membuat Mitsuhide dan pengikutnya geram dan membenci perlakuan Nobunaga.
Suatu saat Mitsuhide ditugaskan Nobunaga melakukan penyerangan dan penaklukan ke daerah lain, setelah sebelumnya dimarahi dan dicaci maki oleh Nobunaga. Hatinya bimbang antara membalas dendam terhadap tuannya dengan melakukan pemberontakan atau mematuhi perintahnya ? Bagaimana mungkin ia harus melaksanakan tugas dari pemimpin yang selalu menghinanya itu. Ia terus berhitung dengan pikirannya sendiri dan menimbang-nimbang peluang berhasil atau tidak langkah yang akan diambilnya.
Lantas, mampukah si “Kepala Jeruk”, panggilan hinaan Nobunaga terhadap dirinya itu tetap setia kepada majikannya ? Atau justru ia menjadi “pengkhianat” demi melenyapkan rasa sakit hatinya ? Atau justru berakhir tragis dengan harakiri ?
Dan satu cerita menarik lainnya yaitu tentang kisah Yukio Mishima, seorang penulis samurai terkenal yang melakukan harakiri di depan Jenderal Mashita. Mengapa lelaki gagap yang sukses sebagai penulis itu justru melakukan seppuku ? Apa saja yang melatarbelakanginya ? Anda tentu penasaran bukan ? Nah, kalau Anda ingin mengetahui kisah selengkapnya, segera miliki buku terbitan BukuKatta ini di toko buku Gramedia, Gunung Agung dan toko-toko buku kesayangan Anda lainnya.
Selamat membaca, semoga bermanfaat !
***
dipetik dari : http://resensi66.wordpress.com/2010/02/23/resensi-buku-harakiri/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar